
Samarinda – Kekerasan terhadap anak di Kota Samarinda masih jadi persoalan serius yang menuntut perhatian lebih dari semua pihak.
Data menunjukkan bahwa kasus-kasus pelecehan seksual, fisik, dan psikis terhadap anak belum menunjukkan penurunan signifikan dalam tiga tahun terakhir.
Wakil Ketua Komisi IV DPRD Samarinda, Sri Puji Astuti menilai bahwa penanganan kasus kekerasan anak tidak bisa dibebankan hanya kepada pemerintah.
Menurutnya, perlu ada gerakan kolektif dari masyarakat untuk berani melapor, serta dukungan sistem yang lebih kuat untuk menjamin perlindungan korban. Ia mengatakan bahwa pengawasan tidak akan maksimal jika masyarakat sendiri memilih diam.
“Kita memang tidak bisa mengawasi semua tempat, tapi setidaknya kita harus mendorong pengungkapan kasus. Membuka kasus saja sudah bentuk keberanian dan langkah awal penyelesaian,” ungkapnya.
Sri Puji juga menyoroti peran keluarga, terutama orang tua, yang kerap kali menutupi kasus pelecehan yang menimpa anaknya karena malu atau takut stigma sosial. Padahal, sikap itu justru memperbesar dampak psikologis terhadap anak.
“Kalau anak kita jadi korban, jangan disimpan. Laporkan. Itu tanggung jawab kita sebagai orang tua. Karena kalau dibiarkan, trauma anak bisa bertahan seumur hidup,” tegasnya.
Lewat Komisi IV DPRD pihaknya mendorong agar semua elemen, termasuk aparat penegak hukum dan dinas terkait, aktif melakukan pencegahan dan edukasi di lingkungan sekolah serta tempat umum. Sekolah juga diminta tidak menutupi kasus yang melibatkan tenaga pendidik.
“Kalau terbukti ada pelanggaran, sanksinya harus tegas. Jangan hanya mutasi atau teguran,” ujarnya.
Data dari Simfoni PPA mencatat, pada 2023 ada 189 kasus kekerasan terhadap anak, sementara di 2024 menurun menjadi 150 kasus. Namun hingga Mei 2025, jumlahnya sudah mencapai 87 kasus, dengan korban didominasi anak perempuan.
Angka tersebut menurut Sri Puji belum bisa dikatakan membaik karena pola kekerasannya masih sama dan dominan di kategori seksual. Hal itu menunjukkan akar persoalan belum tersentuh dengan serius.
“Kita harus berani bicara dan bertindak. Tidak bisa lagi tutup mata dengan alasan aib keluarga atau takut pada oknum pelaku,” tambahnya.
Ia menegaskan bahwa perlindungan terhadap anak bukan sekadar wacana kebijakan, tapi harus menjadi gerakan nyata dari rumah hingga ranah publik.
“Jangan anggap remeh kasus seperti ini. Anak-anak kita butuh perlindungan, bukan pembiaran,” pungkasnya. (Adv/Df)