Catatan DPD GMNI Kaltim Dalam HUT Kota Samarinda ke-60 : Euforia & Derita

Andi M. Akbar, ketua DPD GMNI Kaltim. (Ist)

Samarinda – Hari jadi Kota Samarinda ke 352 dan hari ulang tahun Pemerintah Kota Samarinda ke 60 tepat 21 Januari 2020 lalu bukan menjadi usia yang muda lagi bagi Ibu Kota Provinsi Kalimantan Timur tersebut. Bagi Andi Muhammad Akbar, Ketua DPD GMNI Kaltim, usai tersebut sudah cukup matang bagi Samarinda menyelesaikan beberapa masalah krusial yang terus menghantui Kota Tepian.

“Rakyat Samarinda harus mulai membuat catatan kritis semenjak berdirinya Kota Samarinda. Di usia yang sekarang tentu harapan kedepan persoalan yang ada di Samarinda dapat terselesaikan dengan cepat,” ucapnya, Kamis (23/01/2019).

Hal tersebut tambahnya harus menjadi prioritas jika masih ingin Samarinda menjadi tempat yang layak huni kedepannya. Memimpin Kota Samarinda bukanlah hal mudah, namun juga bukan hal yang mustahil untuk memperbaikinya.

Di usia yang tak muda lagi Kota Samarinda harus terus berupaya untuk menjadi daerah yang memberikan rasa keadilan dan kesejahteraan bagi warganya.

“Di momentum hari lahir Kota Samarinda, DPD GMNI Kaltim memandang ada beberapa permasalahan yang mendasar yang sampai hari ini tidak tertangani dan cenderung salah urus oleh elit politik kita di Samarinda. Beberapa diantaranya yaitu persoalan lingkungan, persoalan ini dalam dewasa ini menjadi persoalan yang tak terpisahkan dari Kota Samarinda. Kondisi ini sangat mengkhawatirkan akibat eksploitasi sumber daya alam yang berlebih, bahkan kerusakan tidak hanya pada soal fisik saja,” jelasnya.

Akbar juga menyampaikan hingga saat ini saja, perihal akibat pertambangan batu bara menurut yang dilansir dari Jaringan Advokasi Tambang, total sudah 21 anak yang meninggal di Samarinda dari 36 korban meninggal di Kalimantan Timur.

Tentu Ini adalah kematian yang terstruktrur akibat pola kebijakan dari pemangku kebijakan yang terus melakukan pembiaran menurutnya. Terlebih lagi Pemerintah Kota juga tak tegas untuk memaksa perusahaan melakukan reklamasi usai melakukan kegiatan pertambangan.

Selain hal tersebut, Kota Samarinda yang telah di kepung oleh tambang akan berdampak pada menurunnya kualitas tanah, air, dan udara yang layak bagi warga. Hal ini akan semakin parah jika dibiarkan secara terus menerus, tentu Kota Samarinda akan menjadi kota tidak layak huni.

Tidak hanya masalah lingkungan, Akbar menambahkan persoalan sosial dalam hal ini adalah persoalan anak jalanan, pengangguran, pengemis, dan masyarakat yang berada dibawah garis kemiskinan masih cukup signifikan. Pendekatan yang harus dilakukan oleh Pemerintah Kota menurut Akbar adalah pendekatan yang menghasilkan solusi bagi semua pihak bukan malah sebaliknya.

“Contoh kasus, soal anak jalanan dan pengemis, aturan yang dikeluarkan justru berhenti pada soal bagaimana masyarakat tidak boleh memberikan uang kepada pengemis dan anak jalanan. Harusnya Pemkot bahu membahu mencari akar persoalan yaitu memberikan akses usaha atau pekerjaan, serta memberikan akses sekolah gratis dan memastikan anak jalanan dapat bersekolah tanpa harus memikirkan mereka akan makan apa ketika tidak bekerja. Persoalan kemiskinan juga harus menjadi perhatian bagi pemerintah kota samarinda, data terakhir dari BPS Kota Samarinda angka kemiskinan masih menyentuh angka 4,59%”, tegasnya.

Tambah lelaki yang kerap memimpin aksi itu terkait tata kota yang ambradul juga menjadi persoalan akibatnya Kota Samarinda terlihat tak terurus. Serta mayoritas disebabkan permukiman dan pertambangan yang justru terhampar di atas pola ruang yang ditujukan untuk kawasan lindung dan ruang terbuka hijau.

Ada pula pola ruang yang direncanakan menjadi permukiman justru beralih rupa menjadi perdagangan dan jasa hingga persoalan pemukiman penduduk di bantaran sungai. Namun dalam hal ini, penataan pemukiman di wilayah bantaran sungai juga harus dilakukan secara matang dengan prinsip-prinsip kemanusiaan.

Untuk penataan pemukiman rakyat kecil minimal harus mendapatkan hal yang sepadan ketika mendapatkan program relokasi. Terakhir adalah hal yang sering dibicarakan masyarakat yang tiap tahunnya selalu berulang kejadiannya yaitu persoalan banjir.

Kita tahu bersama bahwa Samarinda merupakan kota rawa sehingga penanganan banjir butuh orang yang betul-betul memahami karakteristiknya. Selama ini kebijakan Pemkot dalam menangani banjir salah urus, hanya dengan proyek menaikkan bahu jalan dan drainase yang kurang maksimal.

“Padahal persoalannya ada pada tata kelola yang harus terintegrasi bagaimana melihat fenomena Samarinda yang sudah terkepung oleh daerah pertambangan, ruang terbuka hijau yang sangat minim, sub daerah aliran sungai yang menghilang dan tersumbat serta daerah resapan (rawa) yang juga habis akibat ketiadaan rencana pembangunan yang matang,” bebernya.

“Hal ini tentu yang menjadi persoalan yang harus diselesaikan dan ini menunggu kemauan baik dari para pemangku kebijakan di Kota Samarinda dan Kalimantan Timur,” tutupnya. (Rich)

Share

You may also like...

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *