Judul tulisan ini terkesan tidak ada hubungan, akan tetapi ada permenungan penting yang bisa menjadi pelajaran dari dua topik tentang bupati tersangka dan banjir di wilayah Kutim. Tulisan ini hendak berusaha merefleksikan situasi kritis ekologis atas realitas Kutai Timur (Kutim) yang memperihatinkan akibat patut diduga kurangnya kepedulian para pemimpin daerah Kutim (sekarang dan sebelumnya) terhadap kelestarian hutan dan lingkungan hidup.
Tulisan ini mau mengungkapkan realitas terbaru di sebagian tempat di kabupaten Kutai Timur saat ini, khususnya di kecamatan Busang, Long Mesangat, Muara Bengkal dan Muara Ancalong yang rentan terhadap banjir yang berulang dan menyusahkan hidup masyarakat, khsusunya masyarakat adat akibat hancurnya hutan dan sungai yang sudah dieksploitasi secara massif dan dialihfungsikan menjadi perkebunan sawit, “Hutan” Tanaman Industri (HTI) dan pertambangan.
Sehari setelah Bupati Kutim menjadi tersangka, pada 4 Juli 2020 keempat kacamatan di hulu Kutai Timur yang disebutkan di atas mengalami banjir besar yang merendam ribuan rumah dan merugikan serta menyusahkan ribuan masyarakat. Realitas ini bukan tanpa hubungan dengan sikap dan kebijakan pemimpin daerah yang minus keberpihakan terhadap alam, hutan dan lingkungan hidup sebagai bagian penting dari rumah bersama yang menjadi tempat tinggal bersama demi keberlangsungan hidup manusia dan masyarakat Kutim pada khususnya. Sejatinya, kalau sikap dan kebijakan pemimpin daerah sungguh didasarkan atas kesadaran dan perjuangan Bonum Commune (kebaikan bersama), maka pemimpin daerah tidak akan jatuh pada godaan keserakahan dan kepentingan pribadi untuk memperkaya diri atau kelompoknya, yang mengakibatkan kerugiaan kepada masyarakat luas dan akhirnya berujung pada proses hukum seperti yang dialami bupati Kutim saat ini.
Sekalipun tuduhan operasi tangkap tangan (OTT) KPK terhadap bupati Kutim tidak terkait langsung dengan persoalan atau proyek yang tidak ramah lingkungan atau pengerusakan alam dan hutan, tetapi akar masalahnya jelas yakni soal keserakahan dan ketidakberpihakan seorang pemimpin daerah terhadap Bonum Commune secara holistik dan integratif.
Pendidikan dan Pertobatan Ekologis
Istilah New Normal dalam kaitannya dengan situasi kehidupan baru untuk hidup berdamai dan berdampingan dengan covid 19 dengan tetap menjaga dan memperhatikan protokol kesehatan, kiranya cocok juga diterapkan dalam pola berpikir dan bertindak para pemimpin daerah dalam menjalankan amanah kepemimpinan yang diembannya.
Khususnya daerah-daerah yang saat ini sedang mempersiapkan Pilkada untuk menentukan dan memutuskan pilihan terhadap pemimpin daerah yang diharapkan. Pemahaman New Normal pada prinsipnya menegaskan adanya awareness yang transformatif dan rekonsiliatif serta kehendak yang kuat untuk berubah menjadi lebih baik. Situasi dan tuntutan New Normal saat ini menjadi sarana pendidikan yang sangat berharga bagi para pemimpin daerah untuk mampu menjadi agen perubahan dalam mewujudkan Bonum Commune bagi masyarakat dalam seluruh masa kepemimpinannya dengan cara berpikir dan bertindak baru.
Tentu harapan dan impian ini tidak akan muncul begitu saja, tetapi butuh sitem internal pribadi yang mampu mengintegrasikan kontemplasi, doa, karya dan pelayanan/pengabdian dalam satu hembusan nafas. Sistem internal ini butuh keseriusan dan tekad yang kuat dari dalam diri masing-masing pemimpin daerah, khususnya di Kaltim dan Kutim, supaya tidak melahirkan kemunafikan dan kebohongan, sebagaimana yang lazim dan umum dipraktikkan oknum-oknum pemimpin daerah di Indonesia demi sebuah panggung sandiwara “kejahatan” yang telah dirancang secara sistematik.
Realitas alam, hutan dan lingkungan hidup yang memprihatinkan di daerah Kaltim pada umumnya dan Kutim pada khususnya menuntut pertobatan ekologis bagi pemimpin baru Kutim yang akan datang dan juga bagi seluruh masyarakat Kutim. Pertobatan ekologis yang dimaksud adalah gentingnya sebuah kesadaran dan gerakan bersama yang serius bahwa menjaga alam ciptaan, hutan dan lingkungan hidup adalah tanggungjawab setiap orang. Sebab alam ciptaan dan segala isinya adalah rumah kita bersama.
Komitmen untuk merawat dan menjaga rumah kita bersama ini hendaknya merupakan bagian integral dari kehidupan seorang pemimpin daerah maupun masyarakat dan ini bukanlah pilihan sekunder! Komitmen tersebut harus dipahami sebagai langkah istimewa demi mengurangi kerusakan planet ini. Gerakan pertobatan ekologis ini akan terwujud apabila didukung oleh dua dimensi penting, yakni dimensi birokratif dan dimensi kultural.
Pertobatan ekologis hendaknya berakar pada perubahan pola pendekatan ekonomi dari dimensi birokratif. Dari sisi birokrasi pemerintah, promosi bahwa kesejahteraan hanya akan terwujud apabila memberi peluang sebesar-besarnya kepada sistem ekonomi kapitalisme, dengan memberi karpet merah kepada para investor sebagai penguasa untuk mengeksploitasi dan menghancurkan alam, hutan, sungai dan lingkungan hidup sesungguhnya hanyalah ilusi belaka.
Sebab pada kenyataannya yang disejahterakan hanyalah para kapitalis alias pemilik modal bersama kroni-kroninya yang patut diduga juga melibatkan para birokrat dan termasuk oknum-oknum kepala daerah. Sedangkan masyarakat hanyalah sebagai tumbal keserakahan dan ketamakan para raksasa perusak alam dan segala kekayaan yang terkandung di dalamnya. Oleh karena itu perlu untuk konsisten dan berkomitmen mengembangkan dengan segala cara pola pendekatan ekonomi kerakyatan sebagaimana diamanatkan oleh Bung Karono serta mandat UUD 1945 dan perlunya juga pendekatan ekonomi yang baru, yakni “ekonomi sirkular” sebagaimana ditawarkan oleh paus Fransiskus.
Pendekatan ekonomi sirkular ini tidak diarahkan pada eksploitasi berlebihan terhadap sumber daya produktif, tetapi pada pemeliharaan jangka panjangnya, sehingga dapat kembali digunakan demi keberlangsungan hidup semua ciptaan. Pendekatan ekonomi sirkular ini mendorong lahirnya inovasi dan teknologi daur ulang dalam menciptakan energi terbarukan yang tentunya juga memiliki nilai ekonomi yang tinggi dan jauh lebih menguntungkan serta menyejahterakan masyarakat.
Dari sisi kultural masyarakat, masyarakat adat Kaltim dan Kutim pada khususnya perlu dan urgen untuk tetap serta selalu bersahabat dengan alam sebagaimana telah diwariskan oleh leluhur dan tidak mudah diprovokasi dengan iming-iming rupiah yang tidak sebanding dengan kerugian dan kerusakan serta kehancuran kehidupan yang akan dialami sendiri.
Tentu tradisi menjaga dan merawat hutan dan sungai misalnya, sudah menjadi bagian yang tak terpisahkan dari seluruh hidup masyarakat Dayak. Sebab bagi orang Dayak, alam, hutan, sungai dan lingkungan hidup merupakan personifikasi dari “ibu” yang memberi kehidupan. Merusak alam, hutan, sungai dan lingkungan hidup berarti sama halnya merusak ibunya sendiri dan merusak kehidupan itu sendiri, yang nyata dan dialami dalam banjir, masyarakat adat tersisih, konflik sosial meningkat, perubahan iklim yang merusak pertanian dan peradaban yang semakin sarkastik!