SAMARINDA – Dirjen Dukcapil Zudan Arif Fakrulloh menjelaskan, setiap penduduk memiliki identitas diri dan negara harus memberikan perlindungan dalam pemenuhan hak konstitusional dan tertib administrasi kependudukan. Selain itu, pencatatan nama pada dokumen kependudukan perlu diatur sebagai pedoman bagi penduduk dan pejabat yang berwenang melakukan pencatatan untuk memudahkan pelayanan publik.
Melalui Permendagri Nomor 73 Tahun 2022 tentang Pencatatan Nama Pada Dokumen Kependudukan dijelaskan bahwa pencatatan nama adalah penulisan nama penduduk untuk pertama kali pada dokumen kependudukan. Lebih jauh, Zudan menjelaskan, dalam tata cara pencatatan nama pada dokumen kependudukan ini dilarang disingkat, kecuali tidak diartikan lain.
Artinya, boleh disingkat, namun harus konsisten dengan singkatan tersebut, tidak boleh berubah-ubah selamanya. Sebab akan berlaku seumur hidup pada dokumen kependudukan dan dokumen pelayanan publik lainnya.
Contoh: nama seseorang Abdul Muis, jika pemohon meminta untuk disingkat namanya menjadi Abd Muis boleh saja, namun selamanya akan Abd Muis. Inilah namanya. Abd tidak dianggap lagi sebagai singkatan tetapi sudah menjadi nama.
“Di samping itu, tidak boleh menggunakan angka dan tanda baca. Dan juga tidak boleh mencantumkan gelar pendidikan dan keagamaan pada akta pencatatan sipil. Akta pencatatan sipil itu antara lain akta kelahiran, perkawinan, perceraian dan kematian,” papar Zudan.
Untuk penerapan aturan ini, tentunya pejabat pada Disdukcapil kabupaten/kota, UPT Disdukcapil kabupaten/kota, atau kantor Perwakilan Republik Indonesia di luar negeri agar melakukan pembinaan kepada penduduk mengenai prinsip, persyaratan, dan tata cara pencatatan nama.
“Pembinaan yang dimaksud dilakukan untuk memberikan saran, edukasi dan informasi guna pelindungan kepada anak sedini mungkin, agar pencatatan nama pada dokumen si anak sesuai dengan aturan,” ujarnya.
Penduduk yang memaksakan mencatatkan nama anaknya lebih dari 60 karakter termasuk spasi dan disingkat atau diartikan lain; menggunakan angka dan tanda baca dan mencantumkan gelar pendidikan dan keagamaan pada akta pencatatan sipil–padahal pejabat dan petugas Dukcapil telah memberikan saran, edukasi dan informasi kepada masyarakat tersebut–namun masih mengabaikan, maka dokumen kependudukan belum dapat diterbitkan, sampai masyarakat mematuhi sesuai aturan. Hal ini dilakukan untuk kebaikan dan perlindungan bagi perkembangan anak ke depan.
“Lebih tegas kepada pejabat dan petugas yang tetap mencatatkannya dan tidak sesuai aturan maka diberikan sanksi administratif berupa teguran secara tertulis dari Menteri melalui Direktorat Jenderal Kependudukan dan Pencatatan Sipil,” tegasnya.
Hal senada pun diungkapkan oleh Kepala DKP3A Kaltim Noryani Sorayalita, mencegah adanya perudungan terhadap seseorang.
“Ini menjadi imbauan yang baik, dimana setiap daerah memiliki pengartian yang berbeda. Tetapi jika ditelaah secara seksama, hal ini untuk mencegah terjadinya bully kepada anak,” ungkapnya. (titi)