KUTAI KARTANEGARA – Perahu modern yang didukung alat canggih terus lalu lalang melewati Sungai Mahakam. Namun bagi Rustam, membuat perahu tradisional tetap menjadi salah satu keahliannya.
Penduduk sekitar telah mengenal dia sebagai Rustam si pembuat perahu gubang. Sejak 40 tahun lalu, ia memulai usaha pembuatan perahu tradisional usai menikah dan pindah ke Desa Sungai Meriam, Kecamatan Anggana, Kabupaten Kukar.
Tangannya sudah mengeras akibat puluhan tahun memegang palu dan gergaji, bahkan puluhan tahun juga ia bekerja ditemani oleh terpal yang melindunginya dari panas terik matahari dan hujan.
“Sebelum bikin perahu, saya bekerja sebagai kuli bangunan ngikut sama orang tua. Pas saya menikah baru saya pindah kesini dan bikin perahu,” kata Rustam.
Rustam selalu didampingi sang istri dalam membuat perahu. Istrinya pun ikut membantu, yaitu dengan mengecat perahu yang telah diselesaikan Rustam.
“Kita bagi dua saya yang buat perahu, menghalusnya papan memotong. Setelah itu, kalau sudah jadi tinggal istri yang mengecat perahunya,” jelasnya.
Untuk jenis kayu yang digunakan, yaitu jenis kayu meranti. Selain harganya yang cukup terjangkau, kayu tersebut juga sangat awet yang dipesannya dari Muara Muntai. Dalam proses pembuatan perahu tradisional, Rustam tetap menjaga kualitasnya.
Tentu saja hal ini ia lakukan agar para pelanggan tidak kecewa saat menggunakan perahu buatannya.
“Agar perahu itu bagus kayunya terlebih dahulu saya jemur, setelah itu tinggal perawatannya aja yang harus dijaga. Seperti dua bulan sekali perahu harus dicat ulang,” serunya.
Untuk harga sebuah perahu yang ia buat, Rustam mematok dari harga mulai dari Rp. 1.850.000 sampai Rp. 6.000.000, tergantung dari panjang pendeknya perahu yang dipesan.
“Untuk harga saya mematok dari panjangnya perahu, kalau yang itu panjangnya 4 meter saya kasih 2juta atau bisa kurang dikit jadi Rp 1.850.000, terus itu yang 6 meter Rp 2.500.000 dan yang 8 meter Rp 6.000.000,” tuturnya.
Bahkan, perahu yang dibuat Rustam tidak hanya dibeli oleh warga sekitar, namun ada juga yang memesannya dari luar daerah atau kota.
“Kemarin kita ada ngirim sekitar tujuh perahu ke Kota Bontang untuk petani rumput laut, macam-macam orangnya yang pesan,” ungkapnya.
Selama membuat dan menjual perahunya, Rustam tidak menggunakan media sosial, ia hanya mengandalkan pemasaran perahu-perahunya dari mulut ke mulut.
“Tahunya mereka kita buat perahu dari orang-orang yang sering lewat sungai ini dan melihat kita membuat perahu. Dan saya sama sekali menggunakan sosial media dalam usaha saya,” serunya.
Selama masa pandemi COVID-19 seperti sekarang ini, rupanya permintaan pembuatan perahu juga menurun. Rustam mencoba beralih profesi sementara dengan bercocok tanam untuk mencukupi kehidupannya sehari-hari bersama keluarga.
Rustam bersama sang istri pun berharap pandemi COVID-19 segera berlalu, dan kembali lagi seperti sedia kala.
“Karena corona ini jadinya sepi, jadi saya pergi ke sawah untuk menanam padi di seberang sana. Sayapun berharap dengan adanya bantuan, tetapi saya juga berusaha. Semoga ini cepat berakhir,” tutupnya. (titi)