SAMARINDA – Pemerintah kota Samarinda melalui surat edaran nomor 360/003/300.07, yang sudah di tandatangani oleh walikota Samarinda, Syaharie Jaang akan menerapkan Fase Relaksasi per 1 Juni 2020. Kamis (28/5/2020) kemarin.
Dalam surat edaran tersebut, pada poin nomor tiga menyatakan bahwa tempat peribadatan dibuka kembali dengan tetap melakukan standar dan protokol kesehatan, menjaga jarak minimal 1 meter antar sesama dan wajib memakai masker di setiap kegiatan peribadatan.
KH Zaini Naim, selaku Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) Samarinda mengaku kurang setuju. Dirinya justru mempertanyakan poin nomor 3 tersebut dan menyayangkan dirinya tidak dilibatkan dalam penetapan surat edaran itu.
“New normal itu saya kurang setuju, jangan gegabah, mestinya komprehensif,” kata Zaini Naim saat dikonfirmasi melalui telepon seluler, Kamis (28/5/2020) malam.
Lanjutnya, KH Zaini Naim menyampaikan kalimat dari poin nomor 3 itu tidak elok digunakan. Khususnya soal rumah ibadah yang kembali dibuka.
“Kok kesannya sebelumnya ditutup? Ada kesan begitu padahal tidak, tetap adzan, tetap salat hanya saja tidak bisa karena harus social dan physical distancing. Artinya untuk melakukan salat bisa di rumah saja, tidak ada rumah ibadah ditutup,” tegasnya.
Jika tempat peribadatan itu “dibuka” kembali, ia mengkhawatirkan orang-orang yang datang beribadah tidak sepenuhnya mengikuti aturan dan standar protokol kesehatan.
“Bisa menjamin kah jaraknya, jaga 1 meter itu kalau sudah banyak, sulit kan? Padahal Covid-19 ini kan belum selesai, masih ada di Samarinda,” ucapnya.
Pada waktu yang bersamaan Ia juga meminta agar Gugus Tugas (Gugas) Percepatan Penanganan Covid-19, Dinas Kesehatan (Diskes) dan Pemerintah Kota (Pemkot) Samarinda untuk berpikir kembali dan tidak terburu-buru menentukan.
“Dipikir betul-betul, rapat dulu, baru kalau ada kesepakatan bisa dikeluarkan surat edaran,”.
“Begitu kan cantik, ini kayaknya gegabah sekali Mengikuti daerah lain, khususnya presiden soal new normal. Jangan begitulah,” sambungnya.
Dengan diberlakukannya surat edaran tersebut pemerintah kota Samarinda harus benar-benar siap dan perlu adanya penjagaan di tiap-tiap pintu masuk ke Samarinda, agar keputusan yang diambil tidak menjadi keputusan yang salah dan semakin membahayakan kota Samarinda.
“Jika banyak korban, kita juga yang repot,” tutupnya. (Titi)