
Purwokerto, Kaltimedia.com – Guru Besar Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Jenderal Soedirman (Unsoed), Prof. Agus Suroso, menegaskan bahwa kebijakan pengalihan Transfer ke Daerah (TKD) tahun 2026 bukan sekadar pemangkasan anggaran, melainkan momentum bagi pemerintah daerah (Pemda) melakukan transformasi fiskal dan penguatan kemandirian ekonomi lokal.
Menurut Agus, pendekatan pemerintah melalui Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian dan Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewo bersifat moderat, karena tetap memberi ruang adaptasi bagi daerah yang mengalami kesulitan fiskal.
“Efisiensi TKD bukan langkah ekstrem. Pemerintah pusat siap membantu, asal Pemda terlebih dahulu melakukan penataan dan simulasi anggaran secara mandiri,” ujar Agus kepada wartawan, Minggu (12/10/2025).
Kebijakan pengalihan TKD ini merupakan bagian dari implementasi Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah (HKPD). Berdasarkan penjelasan Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Kemenkeu, mulai 2026, struktur TKD akan disederhanakan menjadi tiga komponen utama:
1. Dana Bagi Hasil (DBH),
2. Dana Alokasi Umum (DAU), dan
3. Dana Alokasi Khusus (DAK),
dengan penguatan prinsip “money follows program” agar dana benar-benar mendukung prioritas nasional.

Mendagri Tito Karnavian menegaskan bahwa pemerintah pusat tidak akan membiarkan daerah kesulitan akibat pengalihan TKD ini.
“Daerah yang membutuhkan bantuan tetap bisa mengandalkan pendampingan pusat, selama telah melakukan exercise penataan anggaran secara mandiri terlebih dahulu,” ujar Tito dalam forum koordinasi nasional keuangan daerah di Jakarta, Jumat (10/10/2025).
Tito menambahkan, kebijakan ini justru diharapkan mendorong Pemda lebih disiplin, efisien, dan inovatif dalam pengelolaan fiskal, serta memperkuat prinsip good governance di level daerah.
Prof. Agus Suroso menjabarkan empat langkah praktis yang bisa ditempuh Pemda untuk menghadapi pengalihan TKD 2026 secara efektif.
Pemda diminta memangkas pos anggaran seremonial seperti perjalanan dinas, rapat rutin, dan kegiatan nonprioritas. Dana hasil efisiensi diarahkan untuk layanan publik langsung seperti pendidikan, kesehatan, dan infrastruktur dasar.
Kemenkeu mencatat, belanja birokrasi masih menyerap rata-rata 34,7% dari APBD 2024 di kabupaten/kota, dengan potensi efisiensi hingga Rp54 triliun nasional.
Pemda perlu menggali Pendapatan Asli Daerah (PAD) dari sektor potensial, seperti pajak hotel, restoran, retribusi alat berat, dan air tanah, tanpa membebani masyarakat kecil.
Agus juga menekankan pentingnya digitalisasi pajak dan transparansi fiskal untuk menekan kebocoran.
Berdasarkan data Ditjen Bina Keuangan Daerah (Kemendagri), kontribusi PAD terhadap APBD baru mencapai 26,4% rata-rata nasional (2024), masih di bawah target 30%.
Program seperti Makan Bergizi Gratis (MBG) dan Ketahanan Pangan Nasional diarahkan agar dana pusat tetap beredar di daerah dan mendukung ekonomi lokal.
Melalui sinergi ini, Pemda tetap memperoleh manfaat program pusat meski sebagian dana TKD dialihkan.
BKF memperkirakan program MBG dan ketahanan pangan akan menyalurkan dana langsung ke daerah senilai Rp81 triliun pada 2026.
Pemda diimbau menciptakan inovasi ekonomi lokal, seperti ekspor hortikultura oleh Pemprov Kepri, pengembangan wisata hijau di Bali, atau digitalisasi layanan pajak di Surabaya.
“Kreativitas daerah menjadi kunci agar tetap produktif dan adaptif menghadapi pengalihan TKD, sekaligus memperkuat kemandirian fiskal,” ujar Agus.
Agus menegaskan, empat langkah ini harus dijalankan bertahap, terencana, dan diawasi oleh Inspektorat Daerah serta Aparat Pengawasan Intern Pemerintah (APIP).
“Dengan koordinasi pusat-daerah yang baik, Pemda tidak hanya mampu mengelola fiskal secara efisien, tetapi juga membangun ekonomi lokal yang mandiri, transparan, dan berkelanjutan,” pungkasnya.
Kebijakan pengalihan TKD 2026 diharapkan menjadi tonggak transformasi fiskal daerah, di mana Pemda lebih kreatif, mandiri, dan tangguh dalam menghadapi tantangan ekonomi nasional ke depan. (Ang)