
Jakarta, Kaltimedia.com – PT Freeport Indonesia berencana mengganti pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) captive berbahan bakar batu bara yang selama ini menyuplai listrik untuk operasional tambangnya, menjadi pembangkit listrik tenaga gas (PLTG) berbasis liquefied natural gas (LNG).
Presiden Direktur PT Freeport Indonesia, Tony Wenas, mengatakan langkah tersebut merupakan bagian dari strategi perusahaan untuk menurunkan emisi karbon di sektor pertambangan, khususnya di wilayah operasi Papua.
“Kami sedang mengubah dan mengonversi power plant kami yang menggunakan batu bara menjadi LNG,” ujar Tony, dikutip dari Antara dalam acara Indonesia International Sustainability Forum (IISF), Jakarta, Senin (13/10/2025).
Meski belum mengungkapkan sumber pasokan LNG, Tony menegaskan pihaknya tengah mengupayakan agar bahan bakar gas yang digunakan berasal dari dalam negeri.
“Diharapkan dari dalam negeri. (Pasokannya) masih work in progress,” tambahnya.
PLTU captive merupakan jenis pembangkit listrik yang dibangun dan dioperasikan perusahaan industri untuk kebutuhan sendiri, bukan untuk dijual. Selama ini, Freeport mengandalkan PLTU batu bara berkapasitas sekitar 200 megawatt (MW) untuk mendukung kegiatan pertambangan di Papua.
Dengan rencana konversi ke PLTG combined cycle berkapasitas 270 MW, Tony menyebut langkah itu akan menurunkan emisi hingga 60 persen dibandingkan penggunaan batu bara.
Selain itu, perubahan tersebut juga mendukung target pemerintah menurunkan emisi karbon nasional sebesar 31,89 persen dengan upaya sendiri, dan 43,2 persen dengan bantuan internasional pada 2030, sebagaimana tertuang dalam dokumen Enhanced NDC (Nationally Determined Contribution) Kementerian ESDM (2022).
Freeport juga menargetkan penurunan emisi karbon sebesar 30 persen pada 2030, namun Tony optimistis angka itu dapat lebih besar.
“Tapi tampaknya bahkan bisa lebih dari 30 persen. Sekarang sudah 28 persen,” ujarnya.
Selain mengganti PLTU, Freeport juga mulai mengonversi truk tambang bertenaga diesel menjadi kereta listrik (electric rail haulage) untuk mengangkut hasil tambang dari bawah tanah menuju fasilitas pengolahan di permukaan. Langkah ini diharapkan mampu menekan emisi dari pembakaran solar hingga 50 ribu ton CO₂ per tahun, berdasarkan data keberlanjutan perusahaan tahun 2024.
“Cara pengelolaan kami sudah dilakukan dengan cara yang berkelanjutan meskipun kami merupakan industri ekstraktif,” tutup Tony. (Ang)