SAMARINDA – Kue talam adalah salah satu jenis makanan camilan tradisional suku Banjar Kalimantan Selatan. Di bulan suci Ramadhan seperti sekarang ini, kue talam menjadi salah satu menu favorit berbuka puasa bagi masrayarakat Kota Samarinda.
Kue talam pada umumnya dibuat dari bahan-bahan yang mudah didapatkan, seperti tepung berasm tepung singkong (tapioka), tepung terigu atau tepung sagu. Tepung-tepung ini termasuk dalam kategori karbohidrat sederhana yang memilki nilai indeks glikemik yang tinggi.
Salah satu pembuat kue talam asal Samarinda, Khairunnisa (25). Perempuan yang tinggal di Kecamatan Samarinda Seberang ini selalu berjualan ‘wadai’ (sebutan khas kue dalam Bahasa Banjar) di Jalan Bung Tomo dari pukul 12.00 Wita hingga 18.00 Wita menjelang berbuka puasa.
Icha sapaannya, tampak cekatan dan bersemangat menyusun dagangannya sore itu. Banyak wadai dan kue talam yang ia jual, Amparan tatak, Sari Pengantin, Sari Muka Ketan, Kue Lapis, Bingka dan masih banyak lagi.
“Kue talam itu ada banyak macamnya, ada 16 macam. Kalau wadai yang lain ada bingka, aneka gorengan, bubur, kolak, es buah juga ada buat menu buka puasa. Biasanya orang-orang disini paling suka sama kue amparan tatak isi pisang dan sari muka ketan,” jelasnya, Sabtu (2/5/2020) sore.
Selain itu, wadai yang dijual oleh Icha memiliki cita rasa yang khas, sehingga menjadi menu yang sering dicari pelanggannya. Apalagi, Icha memiliki resep rahasia yang sudah diwariskan turun-temurun dari sang nenek dan ibunya, yaitu Hj. Hatim dan Maskota.
“Kami jualan wadai ini sudah hampir 40 tahun, dan setiap bulan puasa juga. Banyak dari warga Samarinda yang menjadi pelanggan, macam-macam kalau ada acara gitu dari instansi pemerintah atau swasta juga pesannya disini. Tapi karena virus corona ini agak menurun, karena acara-acara bukber engga ada,” ungkapnya.
Berkat kerja keras nenek dan ibunya yang tidak kenal lelah dalam berjualan wadai khas Kalimantan Selatan ini, menjadikan wadai mereka salah satu kuliner yang cukup dicari saat bulan Ramadhan maupun di hari-hari biasa.
“Kalau orang-orang tahunya kue Hj. Hatim di pasar ramadhan, kini namanya berganti menjadi “Maskota” restauran & tradisional cake home industry. Alasannya menggunakan nama Maskota adalah dari nama ibu saya Maskota Muradiah, beliau adalah pencetus pertama kue Hj. Hatim sampai kue-kue modern dan aneka masakan lainnya, dengan resep dan teknik khusus didalamnya,” serunya.
Untuk harga wadai yang ditawarkan Icha ada berbagai macam sesuai dengan jenis wadainya. Namun untuk harga wadai amparan tatak dan kue taman memang sedikit mahal jika dibandingkan dengan kue lainnya.
Seperti kue mika satu potongan besarnya bisa mencapai Rp 15.000 sampai Rp 25.000. Sementara itu, jika membeli satu loyang dihargai dengan Rp 280.000.
Walapun terbilang cukup mahal, namun cita rasa dan kualitas yang disuguhkan sebanding dengan harga yang dikeluarkan.
“Alhamdulillah kita jualan wadai habis semua, karena dari dulu kita memang mempertahankan rasa dan resepnya pun tidak dirubah-ubah. Jika ada yang ingin membeli satu loyang, itu harus pesan terlebih dahulu. Misalnya masih ada sisa, kita berikan kepada tetangga, masjid, pemungut sampah, penyapu jalan atau karyawan yang bekerja disini,” imbuhnya. (titi)