Hindari Perundungan Dan Halangan Administratif, Inilah Mengapa Pemberian Nama Anak Tidak Boleh Satu Kata Atau Bermakna Negatif

Samarinda, Kaltimedia.com – Pada tahun 2018 yang lalu, kita mendengar kabar bahwa seorang warga Tangerang yang bernama Kentut dikabulkan permohonan pengubahan namanya menjadi Ihsan Hadi. Alasan Kentut ingin mengubah namanya menjadi Ihsan adalah karena dirinya kerap mendapatkan perundungan dan dia khawatir perundungannya akan ikut turun kepada anak kandungnya.

Permasalahan serupa diharapkan tidak akan terjadi lagi per tanggal 11 April 2022 karena telah turun Permendagri Nomor 73 tahun 2022 yang memberikan aturan bahwa pemberian nama pada anak harus mudah dibaca, jumlah huruf paling banyak 60 huruf termasuk spasi, minimal 2 kata, dilarang disingkat, tidak bermakna negatif dan tidak multi-tafsir.

Dirjen Dukcapil Zudan Arif Fakrulloh menjelaskan, setiap penduduk memiliki identitas diri dan negara harus memberikan perlindungan dalam pemenuhan hak konstitusional dan tertib administrasi kependudukan. dalam tata cara pencatatan nama pada dokumen kependudukan ini dilarang disingkat, kecuali tidak diartikan lain. Artinya, boleh disingkat, namun harus konsisten dengan singkatan tersebut, tidak boleh berubah-ubah selamanya.

“Di samping itu, tidak boleh menggunakan angka dan tanda baca. Dan juga tidak boleh mencantumkan gelar pendidikan dan keagamaan pada akta pencatatan sipil. Akta pencatatan sipil itu antara lain akta kelahiran, perkawinan, perceraian dan kematian,” papar Zudan.

Kepala Dinas Kependudukan, Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (DKP3A) Kaltim Noryani Sorayalita mengakui, pihaknya menemukan beberapa nama yang bermakna negatif di database nama yang ada di seluruh Indonesia.

“Meskipun setiap daerah memiliki bahasa dan arti masing-masing, kita tetap mengacu kepada Bahasa Indonesia. Hal ini juga mencegah adanya perundungan pada anak-anak,” ungkapnya.

Penduduk yang memaksakan mencatatkan nama anaknya lebih dari 60 karakter termasuk spasi dan disingkat atau diartikan lain, menggunakan angka dan tanda baca dan mencantumkan gelar pendidikan dan keagamaan pada akta pencatatan sipil, padahal pejabat dan petugas Dukcapil telah memberikan saran, edukasi dan informasi kepada masyarakat tersebut namun masih mengabaikan, maka dokumen kependudukan belum dapat diterbitkan, sampai masyarakat mematuhi sesuai aturan.

Hal ini dilakukan untuk mencegah terjadinya bullying kepada anak karena pemberian nama yang tidak bermakna baik, agar perkembangan anak lebih baik ke depannya. (titi)

Share

You may also like...

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *