Komnas HAM Soroti 21 Pasal Bermasalah dalam RUU HAM, Nilai Kewenangan dan Independensi Terancam

Foto: Kantor Komnas HAM di Jakarta. Sumber: Istimewa.
Foto: Kantor Komnas HAM di Jakarta. Sumber: Istimewa.

Jakarta, Kaltimedia.com – Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) menyampaikan catatan serius terhadap draf Rancangan Undang-Undang tentang Hak Asasi Manusia (RUU HAM) yang tengah digodok pemerintah.

Dalam evaluasinya, lembaga tersebut menyoroti sedikitnya 21 pasal krusial yang dinilai berpotensi melemahkan fungsi, kewenangan, hingga independensi Komnas HAM sebagai lembaga negara mandiri.

Adapun pasal-pasal yang mendapat perhatian khusus meliputi Pasal 1, 10, 79, 80, 83–85, 87, 100, 102–104, 109, dan 127.

Wakil Ketua Eksternal Komnas HAM, Putu Elvina, menilai perubahan mendasar justru terjadi pada aspek kewenangan lembaga, terutama terkait fungsi penerimaan dan penanganan aduan pelanggaran HAM.

“Dalam UU No. 39 Tahun 1999, Komnas HAM memiliki 4 tugas dan kewenangan utama sebagaimana diatur dalam Pasal 1 ayat (7), Pasal 75, dan Pasal 89 ayat (1–4): yakni pengkajian dan penelitian, penyuluhan, pemantauan dan mediasi,” ujar Putu dalam keterangan tertulis, Kamis (30/10).

“Namun, dalam rancangan terbaru, sebagaimana diatur pada Pasal 109, Komnas HAM tidak lagi berwenang menerima dan menangani pengaduan dugaan pelanggaran HAM, melakukan mediasi, melakukan pendidikan dan penyuluhan HAM, serta pengkajian HAM, kecuali dalam hal regulasi dan instrumen internasional,” sambungnya.

Menurut Putu, ketidaksinkronan antara definisi, tujuan, dan kewenangan Komnas HAM dalam draf baru itu berpotensi menghapus ruh kelembagaan yang selama ini menjadi ujung tombak perlindungan HAM di Indonesia.

Tujuan Komnas HAM dalam Pasal 75 UU Nomor 39 Tahun 1999 adalah menciptakan kondisi kondusif bagi pelaksanaan dan peningkatan perlindungan HAM. Namun, Putu menilai tujuan tersebut akan sulit dicapai jika kewenangan lembaga justru dipersempit.

Independensi Komnas HAM Dinilai Terancam

Selain kewenangan, Komnas HAM juga menyoroti pasal-pasal yang dinilai menggerus prinsip independensi lembaga, terutama pada proses pemilihan anggota.

Putu mengungkapkan adanya perubahan mekanisme panitia seleksi sebagaimana diatur dalam Pasal 100 ayat (2) huruf b rancangan baru.

“Ada potensi independensi Komnas HAM juga terancam sebagaimana Pasal 100 ayat (2) b di mana dikatakan panitia seleksi anggota Komnas HAM ditetapkan oleh Presiden,” jelasnya.

Dalam aturan lama, panitia seleksi ditetapkan oleh sidang paripurna Komnas HAM sendiri. Menurut Putu, perubahan tersebut bertentangan dengan prinsip Paris Principles yang menekankan pentingnya independensi lembaga HAM nasional dari campur tangan kekuasaan eksekutif.

Kewenangan Kementerian HAM Dinilai Bermasalah

Lebih lanjut, Komnas HAM juga menyoroti adanya pembentukan Kementerian HAM yang disebut memiliki kewenangan menangani pelanggaran HAM.

Menurut Putu, hal ini menimbulkan konflik kepentingan, sebab kementerian merupakan bagian dari pemerintah yang seharusnya menjadi pihak pemangku kewajiban (duty bearer), bukan penilai atau wasit.

“Pemberian kewenangan penanganan pelanggaran HAM kepada Kementerian HAM tidak dapat dibenarkan karena Kementerian merupakan bagian dari pemerintah sebagai pemangku kewajiban HAM (duty bearer),” ujarnya.

“Penanganan dugaan pelanggaran HAM di mana salah satu pelaku atau terlapor adalah pemerintah semestinya tetap dilakukan oleh lembaga independen,” tegasnya.

Penghapusan Fungsi Pendidikan dan Pengkajian HAM

Komnas HAM juga mengkritisi penghapusan sejumlah fungsi strategis lembaga, seperti pendidikan dan penyuluhan HAM, serta pengkajian peraturan perundang-undangan.

Putu menjelaskan, hilangnya dua fungsi tersebut akan berdampak langsung terhadap upaya pencegahan pelanggaran HAM di masyarakat.

Selain itu, pembatasan kerja sama dengan organisasi nasional maupun internasional juga dikhawatirkan menutup ruang kolaborasi dalam menangani kasus lintas yurisdiksi.

“Rancangan revisi UU HAM tersebut dapat dimaknai sebagai upaya menghapus keberadaan Komnas HAM dari kelembagaan HAM nasional,” tegas Putu.

Desakan Revisi Substansi dan Penguatan Lembaga

Atas berbagai temuan tersebut, Komnas HAM mendesak pemerintah agar substansi dalam RUU HAM tidak justru memperlemah peran dan fungsi lembaga, tetapi memperkuat sistem perlindungan HAM nasional.

“Untuk itu, Komnas HAM mendesak Pemerintah agar substansi Rancangan Revisi UU 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, khususnya terkait kelembagaan dan fungsi Komnas HAM untuk tidak memperlemah, tetapi untuk memperkuat sebagai upaya mengoptimalkan sistem perlindungan HAM di Indonesia,” ujar Putu.

Ia menambahkan, Komnas HAM telah menyiapkan naskah akademik dan Daftar Inventarisasi Masalah (DIM) yang menekankan penguatan norma HAM, perlindungan kelompok rentan, serta peran lembaga dalam sistem perlindungan HAM nasional.

“Komnas HAM sendiri telah melakukan pengkajian dan menyusun naskah akademik serta Daftar Inventarisasi Masalah (DIM) yang menekankan pentingnya penguatan norma HAM, pemenuhan HAM oleh Pemerintah, pengaturan tentang pembela HAM, perlindungan kelompok rentan (perempuan, anak, penyandang disabilitas, masyarakat adat, dan lansia), serta penguatan peran Komnas HAM dalam sistem perlindungan HAM di Indonesia agar semakin efektif,” paparnya. (Ang)

Share

You may also like...

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *