
Samarinda, Kaltimedia.com – Jaringan Advokasi Tambang (JATAM) bersama Simpul JATAM Maluku Utara mengungkap dugaan konflik kepentingan dalam jaringan bisnis yang diduga terkait Gubernur Maluku Utara, Sherly Tjoanda. Temuan itu dirilis melalui laporan bertajuk “Konflik Kepentingan di Balik Gurita Bisnis Gubernur Maluku Utara” pada Rabu (29/10/2025).
Dalam laporan tersebut, JATAM menyoroti keterlibatan Sherly dalam perusahaan tambang milik keluarganya yang dinilai menimbulkan tumpang tindih antara kepentingan publik dan bisnis pribadi.
Dukungan pemerintah daerah terhadap perusahaan tambang dinilai bertolak belakang dengan situasi masyarakat yang menghadapi intimidasi, kekerasan, dan kriminalisasi di wilayah tambang seperti Maba Sangaji, Halmahera Timur.
“Meski pemerintah daerah kerap membanggakan pertumbuhan ekonomi dua digit, kami menemukan beban sosial dan ekologis di lapangan justru semakin berat,” ujar Koordinator JATAM Nasional, dalam rilisnya, Kamis (30/10/2025).
JATAM mencatat, sejumlah perusahaan tambang memiliki keterkaitan dengan keluarga Laos–Tjoanda. Antara lain PT Karya Wijaya yang mengelola tambang nikel di Pulau Gebe dan Halmahera, PT Bela Sarana Permai di Pulau Obi, serta PT Amazing Tabara dan PT Indonesia Mas Mulia yang bergerak di sektor emas. Keluarga gubernur juga memiliki kendali di PT Bela Kencana, perusahaan tambang nikel lainnya.
Perubahan besar disebut terjadi di PT Karya Wijaya pada akhir 2024, di mana Sherly Tjoanda menjadi pemegang saham mayoritas 71 persen setelah menggantikan mendiang suaminya, Benny Laos.
Ia juga tercatat memiliki 25,5 persen saham di PT Bela Group yang menaungi sejumlah entitas bisnis keluarganya. Laporan JATAM menemukan pula dugaan pelanggaran dalam proses perpanjangan izin tambang di masa Pilgub 2024.
Beberapa izin diklaim terbit tanpa melalui lelang sistem Minerba One Data Indonesia (MODI) serta tanpa kelengkapan jaminan reklamasi dan izin pinjam pakai kawasan hutan (PPKH).
Selain aspek hukum, dampak lingkungan seperti deforestasi di Pulau Obi, pencemaran air di Halmahera Selatan, dan konflik lahan di Pulau Gebe disebut semakin parah.
Warga sekitar tambang dikabarkan mengalami krisis air bersih dan kehilangan lahan pertanian akibat ekspansi perusahaan yang berkaitan dengan elit politik daerah
.“Rangkap jabatan kepala daerah sebagai pemegang saham perusahaan tambang jelas berpotensi melanggar UU Administrasi Pemerintahan, UU Pemerintahan Daerah, serta aturan KPK tentang konflik kepentingan pejabat publik,” kata JATAM.
JATAM mendesak lembaga pengawas dan penegak hukum untuk segera menindaklanjuti temuan ini demi mencegah penyalahgunaan kekuasaan di tingkat daerah. (AS)



